Gerakan Perempuan, Bukan Melawan Kodrat, Tapi Menegakkan Martabat

Melani Krismonita

Penulis

Jika kita menengok ke belakang, perempuan seringkali ditempatkan di barisan belakang, urusan rumah tangga, dapur, dan anak. Seolah-olah ruang publik hanyalah milik laki-laki. Namun, sejarah bangsa membuktikan hal sebaliknya. Perempuan Indonesia sudah sejak lama mengambil peran besar dalam perjuangan: dari Kartini yang membuka pintu pendidikan, Cut Nyak Dien yang berperang melawan penjajah, hingga tokoh-tokoh masa kini yang aktif di dunia politik, bisnis, dan komunitas sosial.

Gerakan perempuan lahir karena satu kesadaran sederhana “perempuan juga manusia” punya hak yang sama untuk dihargai dan didengar. Isu yang diperjuangkan pun semakin luas, mulai dari kesetaraan kesempatan kerja, akses pendidikan, perlindungan dari kekerasan, hingga representasi politik. Intinya, gerakan ini ingin memastikan perempuan bisa tumbuh dan berkontribusi tanpa dibatasi stigma atau diskriminasi.

Namun, jalan menuju kesetaraan tentu tidak mulus. Budaya patriarki masih kuat, stereotip gender masih sering dilontarkan, dan ruang bagi perempuan untuk mengambil keputusan strategis masih terbatas. Tak jarang pula perjuangan perempuan dianggap sekadar “melawan kodrat”. Padahal, yang diperjuangkan bukan soal melawan, tetapi soal menegakkan martabat kemanusiaan: bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama punya hak untuk berkembang dan berperan.

Kesetaraan gender tidak hanya berarti kesamaan hak secara formal, tetapi juga keadilan substantif yang memberi perempuan akses nyata terhadap pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan representasi politik. Menurut data Badan Pusat Statistik (2023), Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia masih berada pada angka 92,45. Angka ini menunjukkan kemajuan, tetapi juga mengindikasikan masih adanya kesenjangan dalam partisipasi perempuan di ruang publik.

Dalam Islam, prinsip kesetaraan ini memiliki dasar teologis yang kuat. Al-Qur’an menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki potensi, kewajiban, dan hak untuk beramal saleh serta mendapatkan balasan yang setara dari Allah. Allah berfirman dalam QS. An-Nahl [16]: 97:

“Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Ayat ini menegaskan bahwa Islam tidak membedakan kualitas amal berdasarkan jenis kelamin, melainkan berdasarkan keimanan dan amal perbuatan. Hal ini sejalan dengan visi gerakan perempuan yang memperjuangkan ruang setara bagi perempuan dalam pembangunan.

Nasyiatul Aisyiyah

Dalam ranah gerakan Islam modern, Muhammadiyah melalui organisasi otonomnya menghadirkan model gerakan perempuan yang khas, salah satunya Nasyiatul Aisyiyah (NA). Didirikan tahun 1931, Nasyiatul Aisyiyah menjadi wadah kaderisasi perempuan muda Muhammadiyah. Gerakan ini tidak hanya memfokuskan diri pada penguatan peran domestik perempuan, tetapi juga mengembangkan berbagai program strategis, seperti pemberdayaan ekonomi keluarga, pendidikan anak usia dini, advokasi kesehatan reproduksi, hingga kampanye perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan.

Kehadiran Nasyiatul Aisyiyah menegaskan bahwa gerakan perempuan berbasis nilai agama dapat berjalan seiring dengan agenda modernitas dan demokrasi. Secara teoretis, hal ini sejalan dengan konsep Islam progresif, yang memandang nilai keislaman tidak bertentangan dengan prinsip keadilan sosial, termasuk kesetaraan gender. Nasyiatul Aisyiyah juga dapat dilihat melalui perspektif feminisme transformatif, yakni gerakan yang berupaya membongkar struktur ketidakadilan tanpa tercerabut dari konteks budaya dan religius masyarakatnya.

Lebih jauh, Nasyiatul Aisyiyah mengisi ruang strategis dalam pembangunan bangsa. Dengan mengintegrasikan nilai keagamaan, kebangsaan, dan semangat kesetaraan, organisasi ini tidak hanya mendidik perempuan menjadi pribadi berdaya, tetapi juga membentuk kader yang mampu berkontribusi pada isu-isu nasional dan global. Kehadiran Nasyiatul Aisyiyah membuktikan bahwa Islam sebagai landasan moral justru dapat menjadi energi pendorong bagi transformasi sosial yang berkeadilan gender.

Dengan demikian, gerakan perempuan—baik dalam bentuk umum maupun melalui organisasi seperti Nasyiatul Aisyiyah—harus dilihat sebagai elemen penting pembangunan sosial. Kesetaraan gender bukanlah sekadar tuntutan normatif, melainkan kebutuhan strategis untuk mempercepat pencapaian pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya tujuan kelima: kesetaraan gender.

Scroll to Top